Istilah air
combat (PERTEMPURAN UDARA), yang dalam terminologi kita berarti pertempuran
udara, rasanya tidak terlalu asing bagi masyarakat pecinta
dirgantara. Karena bentuk sederhana dari air combat telah banyak
dikenalkan lewat film, kaset-kaset play station, dan aneka ragam
permainan lain. ”Asyik, seru, indah, dan tegang”
komentar mereka yang pernah melihatnya. Cerita pertempuran udara
pun sedikit banyak sudah banyak dimuat di buku-buku kedirgantaraan, walaupun
jenis buku semacam ini masih sangat langka di Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan air combat yang
sesungguhnya ? Apakah sama asyiknya dengan yang
dirasakan dalam simulasi play station ? Seindah yang terlihat di
film ? Jawabnya bisa ya, namun bisa juga tidak.
Karena pada air combat yang sesungguhnya, taruhannya adalah hidup mati para
penerbang, jabatan para komandan lapangan, dan organisasi angkatan udara secara
keseluruhan. Memang asyik dan indah bagi mereka yang menang.
Namun bagi yang kalah, gugur atau menjadi tawanan perang adalah resiko
“normal” yang harus diterima.
Sama seperti pertempuran yang dilaksanakan oleh
prajurit darat, pertempuran udara pun memiliki taktik-taktik tertentu untuk
mendapatkan keunggulan. Taktik yang digunakan merupakan hasil perpaduan
keunggulan tehnologi, kemahiran penerbang, dan seni perang. Tidak hanya
saling kejar dan adu cepat. Taktik tersebut merupakan sebuah konsep yang
telah tertata dengan baik, sebagai gabungan pengalaman dan pengkajian.
Marsekal Pertama TNI Djoko Suyanto, pada saat memimpin pangkalan tempur Iswahjudi
sering mengatakan kepada para penerbang tempur kita, “Semua teori tentang
taktik pertempuran udara yang sekarang tersusun dalam buku, yang kalian
pelajari dan latihkan, telah ditulis dengan tinta darah. Ikuti dan jangan
sekalipun melanggarnya.” Ini tidak terlalu berlebihan mengingat
besarnya resiko dan korban yang telah berjatuhan dalam praktek pertempuran
udara walaupun dalam bentuk latihan.
Taktik pertempuran udara sendiri sudah
berkembang dengan demikian pesatnya hingga saat ini. Pesawat dan
persenjataan yang baru, paling tidak akan mempengaruhi taktik yang
digunakan. Namun, dasar-dasar pertempuran yang digunakan sebenarnya
tidak pernah berubah.
Tanggal 5 Oktober 1914 merupakan sebuah hari
penting dalam sejarah pertempuran udara. Pada hari itu, sebuah
pesawat Voisin 3 Perancis, yang diterbangkan oleh Sersan Joseph Frantz dan
Louis Quenault sedang melaksanakan patroli di dekat perbatasan
Jerman. Mereka melihat sebuah pesawat Jerman tengah berleha-leha di
sepanjang wilayah udara perbatasan kedua negara. Dan Voisin pun
segera mendekat dan mengambil posisi yang baik untuk menembak.
Tidak bisa dipastikan, apa yang ada dalam benak
penerbang-penerbang Jerman saat itu. Juga tidak diketahui, apakah
ia melihat atau tidak terhadap kedatangan pesawat Perancis
didekatnya. Karena sampai saat itu, belum ada pesawat yang saling
tembak di udara. Pesawat hanyalah sebuah alat pengintai, bukan senjata
mematikan. Bila pesawat-pesawat dari dua pihak yang bermusuhan bertemu,
mereka hanya saling menghindar dan pulang ke pangkalan. Sehingga, saat
senapan Quenault memuntahkan amunisinya dan menewaskan penerbang Jerman,
maka dunia penerbangan mengukir sejarah besar dengan dimulainya pertempuran
udara untuk pertama kali.
Sejak saat itu, negara-negara Eropa yang
terlibat PD I (Inggris, Perancis, Jerman) segera mempersenjatai
pesawatnya. Metoda-metoda pertempuran udara mulai dipelajari.
Taktik pertempuran yang pertama kali digunakan adalah pertempuran jarak dekat 1
lawan 1 dengan pemanfaatan ketinggian. Para penerbang yakin, dengan
posisi pesawat yang lebih tinggi, maka beberapa keuntungan akan
dimiliki. Selain jarak pandang ke bawah yang luas, juga serangan
dengan daya kejut dan kecepatan yang besar akan dengan mudah dilaksanakan dari
atas.
Pada tahun 1915, perubahan yang menonjol adalah
mulai dikenalkannya pesawat tempur kursi tunggal. Bila sebelumnya
seorang juru tembak duduk di cockpit belakang, maka selanjutnya penerbang harus
bisa terbang sambil menembak. Hal ini cukup sulit dilakukan pada
awalnya karena belum ada sistem HOTAS (Hands On Throttle And Stick) dimana
semua tombol untuk menembak ditempatkan di tongkat kemudi. Sehingga
penerbang harus terbang dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya untuk
mengarahkan tembakan. Namun, pertempuran demi pertempuran telah
membuat para penerbang mahir menggunakan sistem sejata udara tradisional
tersebut.
Dalam tahun yang sama, para penerbang mulai
mengenal istilah ace (as), berarti penerbang yang mampu menjatuhkan 5 pesawat
musuh. Sedangkan penerbang Jerman menyebutnya dengan kanone yang berarti mesin
pembunuh. Istilah ace lahir dari Perancis, saat Rolland Garros mampu
menjatuhkan 5 musuh dalam awal bulan April 1915. Sedangkan
penerbang yang bisa menjatuhkan korban lebih banyak lagi, disebut dengan ace of
aces.
Sampai tahun 1916, pesawat tempur mulai
melakukan terbang patroli formasi. Namun demikian, pertempuran
masih dilaksanakan dalam taktik satu lawan satu. Penerbang yang
mulai menekuni kegiatan perumusan taktik-taktik pertempuran udara adalah Oswald
Boelcke, dari Jerman. Boelcke adalah orang pertama yang mampu
menggambarkan detail-detail pertempuran yang telah dilakukannya.
Dari pengalamannya, ia kemudian berhasil merumuskan prinsip-prinsip dasar
pertempuran udara. Sehingga Boelcke nantinya dinobatkan menjadi
bapak pertempuran udara dunia.
Walaupun terbang formasi akhirnya dilaksanakan,
pertempuran udara satu lawan satu masih menjadi taktik andalan sampai akhir PD
I. Memang pertempuran udara besar (dog fight) sudah sering
terjadi. Namun rumusan yang baik tentang pertempuran udara yang
dilakukan lebih dari 2 pesawat belum pernah terwujud.
“He who has height controls the battle”
Ini adalah kalimat suci bagi semua penerbang tempur. Memanfaatkan
ketinggian adalah taktik pertama yang ditemukan untuk pertempuran udara dan
kekal sampai sampai saat ini. Memiliki keuntungan ketinggian
berarti keunggulan kecepatan dalam sebuah serangan dan saat melarikan diri,
penerbang memiliki pandangan yang lebih luas, dan daya kejut yang lebih baik.
Perkembangan kemampuan pesawat juga ikut
mempengaruhi perkembangan taktik pertempuran yang dilaksanakan. Pada awal
terjadinya pertempuran udara, taktik yang dugunakan oleh penerbang hanya saling
berputar-putar horizontal untuk menempatkan diri pada posisi tembak yang
baik. Mengapa demikian ? Karena saat itu tak ada
satupun pesawat yang mampu digunakan untuk terbang vertikal.
Gerakan pesawat amat sangat terbatas. Tenaga dorong yang kecil dan
cockpit pesawat yang masih terbuka tidak memungkinkan penerbang untuk
berjumpalitan di udara.
Lalu siapa yang mulai mengenalkan manuver
vertikal pada pertempuran udara? Bukan dari Amerika, Perancis, ataupun
Inggris. Dia adalah seekor elang dari Jerman, bernama
Max Immelmann. Dengan didukung pesawat berdaya dorong
besar buah karya si jenius dari Belanda Anthony Fokker, Max Immelmann
menjadi mesin pembunuh nomor satu Jerman bersama Oswald Boelcke.
Immelmann menciptakan taktik vertikal yang pada saat sebelumnya tidak mungkin
dilaksanakan. Taktik yang diciptakan Immelmann masih memanfaatkan
ketinggian sebagai dasar pelaksanaannya. Dari posisi di atas,
Immelman akan menukik ke bawah menuju belakang pesawat lawan. Dalam
posisi tembak yang baik dan kecepatan yang tinggi, Immelmann akan melepaskan
rentetan tembakan. Sambil terus menembak, Immelman akan membiarkan
pesawatnya terus mendekat pada jarak minimum terhadap pesawat lawan. Saat
berada di jarak minimum itulah dia akan membetot pesawatnya naik ke atas sampai
mendekati kecepatan stall, berputar, inverted, mencari lawan yang lain dan
dihunjamkan lagi ke bawah. Immelmann siap memakan korban
lainnya. Gerakan ini dikenal dengan sebutan Immelmann
Turn. Sebuah gerakan yang sangat terkenal hingga saat ini dan
diajarkan secara luas di semua sekolah penerbang tempur.
Tak satupun penerbang mengetahui mengapa
manuver vertikal jauh lebih unggul daripada manuver horizontal.
Dalam setiap belokan yang dimulai pada saat yang bersamaan, maka penerbang yang
menggunakan vertikal manuver akan mampu bergerak lebih cepat.
Bahkan Immelman sendiri hanya bisa mempraktekkan, namun analisa yang pasti
belum dimilikinya. Pada PD II, barulah diketahui rahasia keunggulan
manuver vertikal yang disebabkan adanya Radial G, sebagai pengaruh dari gaya
gravitasi bumi.
Perkembangan tehnologi yang berpengaruh besar
pada perubahan taktik pertempuran udara adalah ditemukannya komunikasi
radio. Tehnologi ini ditemukan pada masa jeda pasca PD
I. Dengan tehnologi ini, para penerbang akan dengan leluasa
melakukan pertempuran lebih dari 2 pesawat, karena para penerbang bisa
menyampaikan instruksi dengan baik. Mulai dari pertempuran 1 lawan
1 berkembang menjadi 2 lawan 2, 3 lawan 3, dan selanjutnya.
Perkembangan menakjubkan yang sangat
mempengaruhi taktik pertempuran udara adalah penemuan tehnologi
radar. Bila sebelumnya para penerbang harus menggunakan mata
telanjang untuk mencari musuh, maka setelah era radar, penerbang hanya melihat
layar radar di cockpit dan informasi dari radar permukaan ataupun radar
AWACS. Bagi radar modern, radar bahkan sudah bisa menangkap
target di segala arah pesawat dengan tehnologi Radar Warning Receiver
(RWR).
Jerman pernah menjadi negara paling maju dalam
pengembangan pesawat jet. Namun karena manajemen politik yang
salah, apa yang diperjuangkan para ahli jenius Jerman itu hancur berantakan
pada akhir PD II. Setelah itu Amerika dan Rusia memimpin penguasaan
tehnologi pesawat tempur hingg saat ini. Dengan daya dorong mesin
yang lebih besar, sistem avionik dan senjata yang lebih baik, para
penerbang tempur mulai mendapatkan taktik-taktik baru.
Manuver-manuver vertikal maupun horizontal telah bisa dieksploitasi sedemikian
hingga menjadi seni gerakan yang mematikan.
Melihat perkembangan yang ada di kancah
pertempuran udara modern, pada saat ini tidak ada lagi pesawat yang terbang
sendiri dan bertempur sendiri. Pertempuran udara telah biasa dilakukan
dalam jumlah yang besar. Hal ini tentunya tergantung dari kekuatan
tiap-tiap negara untuk menyediakan jumlah pesawat yang diinginkan untuk taktik
pertempuran udara yang akan digunakan. Namun demikian, taktik
pertempuran udara 1 lawan 1 adalah taktik dasar yang harus dikuasai oleh setiap
penerbang tempur. Sehingga, taktik ini sudah pasti akan diajarkan
di seluruh sekolah penerbang tempur. Dari taktik dasar ini, mereka
akan mempelajari taktik pertempuran dalam jumlah yang lebih besar.
“Pertempuran udara lahir dari teknologi”
Inilah kalimat yang tepat menyimak kemajuan yang terjadi dalam sejarah
pertempuran udara. Semua taktik baru yang dikembangkan dalam
pertempuran udara adalah hasil kemajuan tehnologi. Dari mata
telanjang, penerbang kini telah memiliki mata yang lain di pesawat berupa radar
dan RWR. Selain itu, penerbang akan dibantu oleh
operator-operator radar, yang akan mengarahkannya menuju target yang
dikehendaki, lalu menembakkan rudal dengan hanya mengandalkan mata elektronik
yang ada di pesawat.
Hasil dari kemajuan tehnologi lainnya juga
telah menghasilkan performance pesawat yang sempurna. Mulai dari PD
II, tidak hanya kecepatan saja yang semakin besar, namun kelincahan
manuver pesawat pun mulai dipertimbangkan. Para desainer pesawat
mulai memperhitungkan kecepatan belok (rate turn) ataupun jari-jari belokan
(radius turn) dari pesawat untuk meningkatkan kelincahan tempur.
Mereka juga mulai memperhatikan sedetail-detailnya tentang akselerasi
kecepatan, efesiensi bahan bakar, jarak jangkau, dan lain-lainnya. Untuk
menambah keamanan tempur, mereka menciptakan kursi lontar, cockpit tertutup,
ataupun pesawat bermesin ganda.
Dalam pertempuran udara, faktor paling dominan
yang kelihatannya akan mengakhiri taktik pertempuran udara jarak dekat adalah
kemajuan tehnologi rudal. Dengan jarak jangkau yang semakin jauh
dan akurasi perkenaan yang hampir 100 %, akan sangat sulit bagi pesawat musuh
untuk lolos dari sergapan. Dan bagi para penerbang sendiri, hal ini
tentunya sangat menguntungkan. Mereka tidak perlu melakukan dog
fight dengan berjumpalitan di angkasa. Mereka hanya melihat di
layar, sedikit bergerak untuk mengambil posisi menembak yang baik, melepaskan
rudalnya, dan pulang ke rumah.
Dalam era seperti sekarang, pertempuran udara
jarak dekat seperti pada era PD I dan PD II juga sudah jarang
terjadi. Dengan perkembangan sistem radar dan rudal, pertempuran
dilaksanakan dalam Beyond Visual Range (BVR), dimana penerbang dari pihak yang
bermusuhan bahkan tidak saling melihat. Rudal jarak dekat dengan sistem
infra red seeker dengan jarak tembak efektif 2 mil dan harus dilepaskan dari
belakang pesawat lawan, memang sempat merajai di perang Korea dan
sesudahnya. Namun rudal jenis ini sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian
negara pengguna. Untuk negara maju sendiri sudah bertumpu pada rudal
dengan jangkauan yang lebih jauh dan mampu dilepaskan dari berbagai macam
sudut serangan.
Sebagian besar kemenangan yang didapatkan dalam
perang udara dalam 4 dekade terakhir telah melibatkan pertempuran jarak dekat
antar pesawat tempur yang menggunakan rudal AIM-9 Amerika, Atoll
Rusia, Shafrir Israel, dan rudal jarak dekat lainnya. Rudal jarak
sedang dan senapan mesin telah mulai menggantikan peran rudal-rudal jarak
pendek tersebut sejak dimulainya perang Vietnam. Sejalan dengan
kemajuan tehnologi, faktor politik, dan usaha keunggulan dalam perang, sebagian
besar kemenangan yang didapatkan dalam perang teluk dan konflik Kosovo, telah
menggunakan rudal jarak sedang.
Sejak perang teluk 1990-1991, 60% (24
kemenangan) dari kemenangan armada pesawat NATO terhadap Irak didapatkan dengan
rudal udara ke udara jarak sedang generasi ketiga dengan sistem radar homing,
AIM-7 Sparrow. Banyak dari rudal tersebut diluncurkan dari
jarak yang cukup jauh. Pesawat Irak lainnya jatuh dengan rudal
jarak pendek AIM-9 Sidewinder (12 kemenangan), senapan mesin (2
kemenangan), 1 pesawat rusak dengan bom 907 kg dan 2 pesawat lagi jatuh pada
saat bermanuver.
Pada saat ini, USAF telah mulai menggusur rudal
lamanya dengan AIM-120 AMRAAM. Rudal jarak sedang generasi
keempat seperti AIM-120 Amerika, R-27 dan R-77 Rusia, dan MICA Perancis dapat
diaktifkan pada pertempuran jarak dekat yang seharusnya menggunakan rudal jarak
dekat seperti ASRAAM dan AIM-9. Rudal jarak sedang seperti AIM-120
Amerika dan R-77 juga telah ditingkatkan kemampuannya, sehingga mampu menembak
sasaran jarak jauh yang seharusnya menggunakan rudal jarak jauh AIM-54
Phoenix. Rudal-rudal tersebut adalah jenis rudal jarak sedang yang
bisa diluncurkan dari jarak jauh tanpa melihat target dengan mata telanjang,
cukup dengan visualisasi pada layar radar. R-27 adalah rudal
radar homing semi aktif yang mempunyai kemampuan hampir sama dengan AIM-7
Sparrow model terbaru. R-27 juga dibuat dalam jenis infra red
missile. Rudal R-27 bisa dipasang pada pesawat Mig-29 and
Su-27. Sedangkan versi R-27RE memiliki motor rocket lebih besar
sehingga kecepatan dan jarak jangkau yang dimiliki menjadi lebih tinggi
dibandingkan AIM-7 Sparrow milik NATO.
Rudal R-77 adalah rudal Rusia yang memiliki
sistem dengan kemampuan “fire and forget” setara dengan AIM-120 A/B.
Namun jarak jangkau dan kecepatannya lebih tinggi dibandingkan rudal Amerika
tersebut. Sehingga Amerika berusaha dengan keras untuk meningkatkan
kemampuan rudal-rudal jenis AIM-120 untuk mengimbangi musuhnya.
Rudal udara ke udara milik Perancis, MICA,
memiliki jarak jangkau lebih pendek dibanding AIM-120 dan R-27/77, yaitu 30
mil. Rudal ini mempunyai versi radar aktif ataupun infra
red. Rudal ini dipasang pada pesawat Mirage 2000-5, rencananya akan
dipasang untuk pesawat Rafale.
Amerika, Eropa, dan Rusia sebagai negara
desainer senjata paling ampuh, pada saat ini sedang berlomba untuk
mengembangkan rudal dengan kemampuan terbaik untuk jenis medium range, yang
rencananya akan digunakan untuk abad ke-21. Rusia sudah menyiapkan
beberapa jenis desain rudal seperti Zvezhda Kh-37 dan Novator Ks-172, yang
memiliki kecepatan tinggi, jarak jangkau 62 mil, dan sistem penjejak radar
homing. Para petinggi departemen hankam Inggris pun telah memesan sebuah
rudal baru jenis Beyond Visual Range Air To Air Missile (BVRAAM), yang akan
dipasang pada Eurofighter dengan jarak jangkau lebih besar dan memiliki
ketahanan manuver untuk membuat “no escape zone” bagi pesawat musuh yang
memiliki manuver tangguh. Perlombaan yang tak akan pernah usai.
Mayor Nebojsa Nilkolic, salah satu dari
penerbang AU Yugoslavia yang tertembak pertama kali pada pembukaan serangan
udara NATO di Kosovo. Malang tidak bisa ditolak, penerbang
Yugoslavia ini baru saja mengudara dari landasan, namun puluhan rudal
baik air to air ataupun ground to air missile sudah berhamburan mengejarnya.
Pesawatnya jatuh sebelum mampu berbuat sesuatu dengan persenjataan yang
dibawanya. Hal inipun terjadi pada penerbang-penerbang Yugoslavia
lainnya. Jangankan bermanuver, justru pesawat-pesawat itu sudah jatuh
lebih dulu di sekitar landasan. Ini adalah paradigma baru dalam
pertempuran udara bahwa daerah pertahanan belakang pun sudah tidak bisa
menghindar dari serbuan senjata lawan. Tidak ada dog fight, baik 1
lawan 1 ataupun dalam jumlah yang lebih besar, baik dalam jarak dekat ataupun
BVR.
Bagi Amerika sendiri, beberapa tahun terakhir
telah mengembangkan pertempuran efektif dan efisien dengan mencapai kemenangan
dengan kerugian seminimum mungkin pada korban prajurit. Mereka
mengembangkan pertempuran jarak jauh dan smart war. Tidak ada jumpalitan,
tidak ada hiruk pikuk ataupun teriakan prajurit. Tinggal lihat di
layar dan tekan tombol.
Strategi pertempuran sebenarnya hanya 3 macam,
yaitu kekuatan, kecepatan bergerak, dan kerahasiaan.
Sehingga, rasio yang diambil dari ketiga taktik itu adalah bila kalah kuat maka
harus bergerak, jika masih kalah maka bersembunyi. Jika masih kalah juga,
maka kita harus bergerak sambil sembunyi. Hal ini pun berlaku bagi taktik
pertempuran udara. Sehingga, mulai dikembangkan tehnologi stealth.
Ini adalah salah cara untuk menghindari pertempuran bentuk lain yang sangat
beresiko.
“Bila dari jauh sudah bisa dibunuh kenapa harus
mendekat.” Integrasi tehnologi rudal, radar dan satelit telah
membuat Amerika mampu berbuat segalanya. Pengalaman tragis dari
pangkalan MiG-29 Yugoslavia adalah sebuah contoh nyata. Jangankan
pesawat yang ada di udara, pesawat baru ditarik keluar hanggar pun sudah bisa
dilihat dari Amerika dengan tehnologi satelitnya. Sehingga masalah
eksploitasi luar angkasa telah menjadi ancaman tersendiri bagi angkatan udara
yang masih bertahan pada cara bertempur yang lama.
Dengan gabungan tehnologi radar, satelit, dan
rudal yang canggih sebenarnya pesawat akan menurun perannya dalam pertempuran
udara. Karena segala macam penghancuran akan bisa dilaksanakan dari
pusat komando di bawah dan deteksi pusat ancaman yang sempurna dari
satelit. Sehingga sempat terpikirkan oleh ahli-ahli senjata Amerika
untuk mengkonsep sistem senjata yang bertumpu pada satelit di luar angkasa.
Hal ini dilakukan dengan semakin sempurnanya sistem deteksi
satelit. Dengan sistem ini maka peran pesawat tempur akan jauh
menurun dalam pertempuran.
Namun, sebagai manusia normal, siapa yang mau
begitu saja menggantungkan nasib hidup seluruh rakyat kepada peralatan yang
terletak jauh ribuan kilometer di luar angkasa, padahal ancaman kadang-kadang
sudah nampak di depan mata. Sehingga, pesawat tempur masih akan
tetap menjadi senjata pemusnah nomor satu dalam pertempuran. Namun,
pertempuran tidak lagi dalam jarak dekat, dan tidak pula bertumpu pada manuver
akrobatik sebuah pesawat. Pertempuran akan lebih tergantung pada
kemampuan sistem deteksi radar, akurasi dan jangkauan senjata, juga satelit di
luar angkasa, yang hanya dikendalikan dari sebuah remote control di
laboratorium pertahanan udara.
waduwh. tulisannya pake di block gt ya duo fath?
BalasHapus