Translate

Senin, 16 Desember 2013

Pertempuran Udara

Istilah air combat (PERTEMPURAN UDARA), yang dalam terminologi kita berarti pertempuran udara, rasanya tidak terlalu asing bagi masyarakat pecinta dirgantara.   Karena bentuk sederhana dari air combat telah banyak dikenalkan lewat film, kaset-kaset play station,  dan aneka ragam permainan lain.   ”Asyik, seru, indah,  dan tegang”   komentar mereka yang pernah melihatnya.   Cerita pertempuran udara pun sedikit banyak sudah banyak dimuat di buku-buku kedirgantaraan, walaupun jenis buku semacam ini masih sangat langka di Indonesia.  
Lalu, bagaimana dengan air combat yang sesungguhnya  ?    Apakah sama asyiknya dengan yang dirasakan dalam simulasi play station ?   Seindah yang terlihat di film  ?   Jawabnya bisa ya, namun bisa juga tidak.   Karena pada air combat yang sesungguhnya, taruhannya adalah hidup mati para penerbang, jabatan para komandan lapangan, dan organisasi angkatan udara secara keseluruhan.  Memang asyik dan indah bagi mereka yang menang.   Namun bagi yang kalah,  gugur atau menjadi tawanan perang adalah resiko “normal” yang harus diterima.
Sama seperti pertempuran yang dilaksanakan oleh prajurit darat, pertempuran udara pun memiliki taktik-taktik tertentu untuk mendapatkan keunggulan.  Taktik yang digunakan merupakan hasil perpaduan keunggulan tehnologi, kemahiran penerbang, dan seni perang.  Tidak hanya saling kejar dan adu cepat.  Taktik tersebut merupakan sebuah konsep yang telah tertata dengan baik, sebagai gabungan pengalaman dan pengkajian.  Marsekal Pertama TNI Djoko Suyanto, pada saat memimpin pangkalan tempur Iswahjudi sering mengatakan kepada para penerbang tempur kita, “Semua teori tentang taktik pertempuran udara yang sekarang tersusun dalam buku,  yang kalian pelajari dan latihkan, telah ditulis dengan tinta darah.  Ikuti dan jangan sekalipun melanggarnya.”   Ini tidak terlalu berlebihan mengingat besarnya resiko dan korban yang telah berjatuhan dalam praktek pertempuran udara walaupun dalam bentuk latihan.


Taktik pertempuran udara sendiri sudah berkembang dengan demikian pesatnya hingga saat ini.   Pesawat dan persenjataan yang baru,  paling tidak akan mempengaruhi taktik yang digunakan.   Namun, dasar-dasar pertempuran yang digunakan sebenarnya tidak pernah berubah.
Tanggal 5 Oktober 1914 merupakan sebuah hari penting dalam sejarah pertempuran udara.   Pada hari itu, sebuah pesawat Voisin 3 Perancis, yang diterbangkan oleh Sersan Joseph Frantz dan Louis Quenault sedang melaksanakan patroli di dekat perbatasan Jerman.   Mereka melihat sebuah pesawat Jerman tengah berleha-leha di sepanjang wilayah udara perbatasan kedua negara.   Dan Voisin pun segera mendekat dan mengambil posisi yang baik untuk menembak.
Tidak bisa dipastikan, apa yang ada dalam benak penerbang-penerbang Jerman saat itu.   Juga tidak diketahui, apakah ia melihat atau tidak terhadap kedatangan pesawat Perancis didekatnya.   Karena sampai saat itu, belum ada pesawat yang saling tembak di udara.   Pesawat hanyalah sebuah alat pengintai, bukan senjata mematikan.  Bila pesawat-pesawat dari dua pihak yang bermusuhan bertemu, mereka hanya saling menghindar dan pulang ke pangkalan.  Sehingga, saat senapan Quenault memuntahkan amunisinya dan menewaskan penerbang Jerman,  maka dunia penerbangan mengukir sejarah besar dengan dimulainya pertempuran udara untuk pertama kali.    
Sejak saat itu, negara-negara Eropa yang terlibat PD I (Inggris, Perancis, Jerman) segera mempersenjatai pesawatnya.   Metoda-metoda pertempuran udara mulai dipelajari. Taktik pertempuran yang pertama kali digunakan adalah pertempuran jarak dekat 1 lawan 1 dengan pemanfaatan ketinggian.  Para penerbang yakin, dengan posisi pesawat yang lebih tinggi, maka beberapa keuntungan akan dimiliki.   Selain jarak pandang ke bawah yang luas, juga serangan dengan daya kejut dan kecepatan yang besar akan dengan mudah dilaksanakan dari atas.
Pada tahun 1915, perubahan yang menonjol adalah mulai dikenalkannya pesawat tempur kursi tunggal.   Bila sebelumnya seorang juru tembak duduk di cockpit belakang, maka selanjutnya penerbang harus bisa terbang sambil menembak.   Hal ini cukup sulit dilakukan pada awalnya karena belum ada sistem HOTAS (Hands On Throttle And Stick) dimana semua tombol untuk menembak ditempatkan di tongkat kemudi.  Sehingga penerbang harus terbang dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya untuk mengarahkan tembakan.   Namun, pertempuran demi pertempuran telah membuat para penerbang mahir menggunakan sistem sejata udara tradisional tersebut.  
Dalam tahun yang sama, para penerbang mulai mengenal istilah ace (as), berarti penerbang yang mampu menjatuhkan 5 pesawat musuh. Sedangkan penerbang Jerman menyebutnya dengan kanone yang berarti mesin pembunuh.  Istilah ace lahir dari Perancis, saat Rolland Garros mampu menjatuhkan 5 musuh dalam awal bulan April 1915.   Sedangkan penerbang yang bisa menjatuhkan korban lebih banyak lagi, disebut dengan ace of aces.
Sampai tahun 1916, pesawat tempur mulai melakukan terbang patroli formasi.   Namun demikian, pertempuran masih dilaksanakan dalam taktik satu lawan satu.   Penerbang yang mulai menekuni kegiatan perumusan taktik-taktik pertempuran udara adalah Oswald Boelcke, dari Jerman.   Boelcke adalah orang pertama yang mampu menggambarkan detail-detail pertempuran yang telah dilakukannya.   Dari pengalamannya, ia kemudian berhasil merumuskan prinsip-prinsip dasar pertempuran udara.   Sehingga Boelcke nantinya dinobatkan menjadi bapak pertempuran udara dunia.
Walaupun terbang formasi akhirnya dilaksanakan, pertempuran udara satu lawan satu masih menjadi taktik andalan sampai akhir PD I.   Memang pertempuran udara besar (dog fight) sudah sering terjadi.   Namun rumusan yang baik tentang pertempuran udara yang dilakukan lebih dari 2 pesawat belum pernah terwujud.
 “He who has height controls the battle”  Ini adalah kalimat suci bagi semua penerbang tempur.   Memanfaatkan ketinggian adalah taktik pertama yang ditemukan untuk pertempuran udara dan kekal sampai sampai saat ini.   Memiliki keuntungan ketinggian berarti keunggulan kecepatan dalam sebuah serangan dan saat melarikan diri, penerbang memiliki pandangan yang lebih luas, dan daya kejut yang lebih baik.
Perkembangan kemampuan pesawat juga ikut mempengaruhi perkembangan taktik pertempuran yang dilaksanakan.  Pada awal terjadinya pertempuran udara, taktik yang dugunakan oleh penerbang hanya saling berputar-putar horizontal untuk menempatkan diri pada posisi tembak yang baik.  Mengapa demikian  ?   Karena saat itu tak ada satupun pesawat yang mampu digunakan untuk terbang vertikal.   Gerakan pesawat amat sangat terbatas.   Tenaga dorong yang kecil dan cockpit pesawat yang masih terbuka tidak memungkinkan penerbang untuk berjumpalitan di udara.  
Lalu siapa yang mulai mengenalkan manuver vertikal pada pertempuran udara?   Bukan dari Amerika, Perancis, ataupun Inggris.   Dia  adalah seekor elang dari Jerman, bernama Max   Immelmann.   Dengan didukung pesawat berdaya dorong besar buah karya si jenius dari Belanda Anthony Fokker,  Max Immelmann menjadi mesin pembunuh nomor satu Jerman bersama Oswald Boelcke.   Immelmann menciptakan taktik vertikal yang pada saat sebelumnya tidak mungkin dilaksanakan.   Taktik yang diciptakan Immelmann masih memanfaatkan ketinggian sebagai dasar pelaksanaannya.   Dari posisi di atas, Immelman akan menukik ke bawah menuju belakang pesawat lawan.   Dalam posisi tembak yang baik dan kecepatan yang tinggi, Immelmann akan melepaskan rentetan tembakan.   Sambil terus menembak, Immelman akan membiarkan pesawatnya terus mendekat pada jarak minimum terhadap pesawat lawan. Saat berada di jarak minimum itulah dia akan membetot pesawatnya naik ke atas sampai mendekati kecepatan stall, berputar, inverted, mencari lawan yang lain dan dihunjamkan lagi ke bawah.   Immelmann siap memakan korban lainnya.   Gerakan ini dikenal dengan sebutan Immelmann Turn.    Sebuah gerakan yang sangat terkenal hingga saat ini dan diajarkan secara luas di semua sekolah penerbang tempur.
Tak satupun penerbang mengetahui mengapa manuver vertikal jauh lebih unggul daripada manuver horizontal.   Dalam setiap belokan yang dimulai pada saat yang bersamaan, maka penerbang yang menggunakan vertikal manuver akan mampu bergerak lebih cepat.   Bahkan Immelman sendiri hanya bisa mempraktekkan, namun analisa yang pasti belum dimilikinya.   Pada PD II, barulah diketahui rahasia keunggulan manuver vertikal yang disebabkan adanya Radial G, sebagai pengaruh dari gaya gravitasi bumi.
Perkembangan tehnologi yang berpengaruh besar pada perubahan taktik pertempuran udara adalah ditemukannya komunikasi radio.   Tehnologi ini ditemukan pada masa jeda pasca PD I.   Dengan tehnologi ini, para penerbang akan dengan leluasa melakukan pertempuran lebih dari 2 pesawat, karena para penerbang bisa menyampaikan instruksi dengan baik.   Mulai dari pertempuran 1 lawan 1 berkembang menjadi 2 lawan 2,  3 lawan 3, dan selanjutnya.  
Perkembangan menakjubkan yang sangat mempengaruhi taktik pertempuran udara adalah penemuan tehnologi radar.   Bila sebelumnya para penerbang harus menggunakan mata telanjang untuk mencari musuh, maka setelah era radar, penerbang hanya melihat layar radar di cockpit  dan informasi dari radar permukaan ataupun radar AWACS.    Bagi radar modern, radar bahkan sudah bisa menangkap target di segala arah pesawat dengan tehnologi Radar Warning Receiver (RWR).   
Jerman pernah menjadi negara paling maju dalam pengembangan pesawat jet.   Namun karena manajemen politik yang salah, apa yang diperjuangkan para ahli jenius Jerman itu hancur berantakan pada akhir PD II.   Setelah itu Amerika dan Rusia memimpin penguasaan tehnologi pesawat tempur hingg saat ini.   Dengan daya dorong mesin yang lebih besar, sistem avionik dan  senjata yang lebih baik, para penerbang tempur mulai mendapatkan taktik-taktik baru.   Manuver-manuver vertikal maupun horizontal telah bisa dieksploitasi sedemikian hingga menjadi seni gerakan yang mematikan.
Melihat perkembangan yang ada di kancah pertempuran udara modern, pada saat ini tidak ada lagi pesawat yang terbang sendiri dan bertempur sendiri.  Pertempuran udara telah biasa dilakukan dalam jumlah yang besar.   Hal ini tentunya tergantung dari kekuatan tiap-tiap negara untuk menyediakan jumlah pesawat yang diinginkan untuk taktik pertempuran udara yang akan digunakan.    Namun demikian, taktik pertempuran udara 1 lawan 1 adalah taktik dasar yang harus dikuasai oleh setiap penerbang tempur.   Sehingga, taktik ini sudah pasti akan diajarkan di seluruh sekolah penerbang tempur.   Dari taktik dasar ini, mereka akan mempelajari taktik pertempuran dalam jumlah yang lebih besar.
“Pertempuran udara lahir dari teknologi”  Inilah kalimat yang tepat menyimak kemajuan yang terjadi dalam sejarah pertempuran udara.   Semua taktik baru yang dikembangkan dalam pertempuran udara adalah hasil kemajuan tehnologi.   Dari mata telanjang, penerbang kini telah memiliki mata yang lain di pesawat berupa radar dan RWR.   Selain itu, penerbang akan dibantu oleh  operator-operator radar, yang akan mengarahkannya menuju target yang dikehendaki, lalu menembakkan rudal dengan hanya mengandalkan mata elektronik yang ada di pesawat.
Hasil dari kemajuan tehnologi lainnya juga telah menghasilkan performance pesawat yang sempurna.   Mulai dari PD II,  tidak hanya kecepatan saja yang semakin besar, namun kelincahan manuver pesawat pun mulai dipertimbangkan.   Para desainer pesawat mulai memperhitungkan kecepatan belok (rate turn) ataupun jari-jari belokan (radius turn) dari pesawat untuk meningkatkan kelincahan tempur.   Mereka juga mulai memperhatikan sedetail-detailnya tentang akselerasi kecepatan, efesiensi bahan bakar, jarak jangkau, dan lain-lainnya.   Untuk menambah keamanan tempur, mereka menciptakan kursi lontar, cockpit tertutup, ataupun pesawat bermesin ganda.
Dalam pertempuran udara, faktor paling dominan yang kelihatannya akan mengakhiri taktik pertempuran udara jarak dekat adalah kemajuan tehnologi rudal.   Dengan jarak jangkau yang semakin jauh dan akurasi perkenaan yang hampir 100 %, akan sangat sulit bagi pesawat musuh untuk lolos dari sergapan.   Dan bagi para penerbang sendiri, hal ini tentunya sangat menguntungkan.   Mereka tidak perlu melakukan dog fight dengan berjumpalitan di angkasa.   Mereka hanya melihat di layar, sedikit bergerak untuk mengambil posisi menembak yang baik, melepaskan rudalnya, dan pulang ke rumah.


Dalam era seperti sekarang, pertempuran udara jarak  dekat seperti pada era PD I dan PD II juga sudah jarang terjadi.   Dengan perkembangan sistem radar dan rudal, pertempuran dilaksanakan dalam Beyond Visual Range (BVR), dimana penerbang dari pihak yang bermusuhan bahkan tidak saling melihat.  Rudal jarak dekat dengan sistem infra red seeker dengan jarak tembak efektif 2 mil dan harus dilepaskan dari belakang pesawat lawan, memang sempat merajai di perang Korea dan sesudahnya.  Namun rudal jenis ini sudah mulai ditinggalkan oleh sebagian negara pengguna.  Untuk negara maju sendiri sudah bertumpu pada rudal dengan jangkauan yang lebih jauh dan mampu dilepaskan dari  berbagai macam sudut serangan.
Sebagian besar kemenangan yang didapatkan dalam perang udara dalam 4 dekade terakhir telah melibatkan pertempuran jarak dekat antar pesawat tempur yang menggunakan rudal AIM-9 Amerika,   Atoll Rusia,  Shafrir Israel, dan rudal jarak dekat lainnya.   Rudal jarak sedang dan senapan mesin telah mulai menggantikan peran rudal-rudal jarak pendek tersebut sejak dimulainya perang Vietnam.   Sejalan dengan kemajuan tehnologi, faktor politik, dan usaha keunggulan dalam perang, sebagian besar kemenangan yang didapatkan dalam perang teluk dan konflik Kosovo, telah menggunakan rudal jarak sedang.  
Sejak perang teluk 1990-1991, 60% (24 kemenangan) dari kemenangan armada pesawat NATO terhadap Irak didapatkan dengan rudal udara ke udara jarak sedang generasi ketiga dengan sistem radar homing, AIM-7 Sparrow.    Banyak dari rudal tersebut diluncurkan dari jarak yang cukup jauh.   Pesawat Irak lainnya jatuh dengan rudal jarak pendek AIM-9 Sidewinder (12 kemenangan),   senapan mesin (2 kemenangan), 1 pesawat rusak dengan bom 907 kg dan 2 pesawat lagi jatuh pada saat bermanuver.  
Pada saat ini, USAF telah mulai menggusur rudal lamanya dengan AIM-120 AMRAAM.    Rudal jarak sedang generasi keempat seperti AIM-120 Amerika, R-27 dan R-77 Rusia, dan MICA Perancis dapat diaktifkan pada pertempuran jarak dekat yang seharusnya menggunakan rudal jarak dekat seperti ASRAAM dan AIM-9.   Rudal jarak sedang seperti AIM-120 Amerika dan R-77 juga telah ditingkatkan kemampuannya, sehingga mampu menembak sasaran jarak jauh yang seharusnya menggunakan rudal jarak jauh AIM-54 Phoenix.   Rudal-rudal tersebut adalah jenis rudal jarak sedang yang bisa diluncurkan dari jarak jauh tanpa melihat target dengan mata telanjang, cukup dengan visualisasi pada layar radar.    R-27 adalah rudal radar homing semi aktif yang mempunyai kemampuan hampir sama dengan AIM-7 Sparrow model terbaru.   R-27 juga dibuat dalam jenis infra red missile.   Rudal R-27 bisa dipasang pada pesawat Mig-29 and Su-27.   Sedangkan versi R-27RE memiliki motor rocket lebih besar sehingga kecepatan dan jarak jangkau yang dimiliki menjadi lebih tinggi dibandingkan AIM-7 Sparrow milik NATO.  
Rudal R-77 adalah rudal Rusia yang memiliki sistem dengan kemampuan “fire and forget” setara dengan AIM-120 A/B.  Namun jarak jangkau dan kecepatannya lebih tinggi dibandingkan rudal Amerika tersebut.   Sehingga Amerika berusaha dengan keras untuk meningkatkan kemampuan rudal-rudal jenis AIM-120 untuk mengimbangi musuhnya.  
Rudal udara ke udara milik Perancis, MICA, memiliki jarak jangkau lebih pendek dibanding AIM-120 dan R-27/77, yaitu 30 mil.   Rudal ini mempunyai versi radar aktif ataupun infra red.   Rudal ini dipasang pada pesawat Mirage 2000-5, rencananya akan dipasang untuk pesawat Rafale.  
Amerika, Eropa, dan Rusia sebagai negara desainer senjata paling ampuh, pada saat ini sedang berlomba untuk mengembangkan rudal dengan kemampuan terbaik untuk jenis medium range, yang rencananya akan digunakan untuk abad ke-21.   Rusia sudah menyiapkan beberapa jenis desain rudal seperti Zvezhda Kh-37 dan Novator Ks-172, yang memiliki kecepatan tinggi, jarak jangkau 62 mil, dan sistem penjejak radar homing.  Para petinggi departemen hankam Inggris pun telah memesan sebuah rudal baru jenis Beyond Visual Range Air To Air Missile (BVRAAM), yang akan dipasang pada Eurofighter dengan jarak jangkau lebih besar dan memiliki ketahanan manuver untuk membuat “no escape zone” bagi pesawat musuh yang memiliki manuver tangguh.   Perlombaan yang tak akan pernah usai.
Mayor Nebojsa Nilkolic, salah satu dari penerbang AU Yugoslavia yang tertembak pertama kali pada pembukaan serangan udara NATO di Kosovo.  Malang tidak bisa ditolak, penerbang Yugoslavia  ini baru saja mengudara dari landasan, namun puluhan rudal baik air to air ataupun ground to air missile sudah berhamburan mengejarnya.  Pesawatnya jatuh sebelum mampu berbuat sesuatu dengan persenjataan yang dibawanya.  Hal inipun terjadi pada penerbang-penerbang Yugoslavia lainnya.  Jangankan bermanuver, justru pesawat-pesawat itu sudah jatuh lebih dulu di sekitar landasan.   Ini adalah paradigma baru dalam pertempuran udara bahwa daerah pertahanan belakang pun sudah tidak bisa menghindar dari serbuan senjata lawan.   Tidak ada dog fight, baik 1 lawan 1 ataupun dalam jumlah yang lebih besar, baik dalam jarak dekat ataupun BVR.



Bagi Amerika sendiri, beberapa tahun terakhir telah mengembangkan pertempuran efektif dan efisien dengan mencapai kemenangan dengan kerugian seminimum mungkin pada korban prajurit.   Mereka mengembangkan pertempuran jarak jauh dan smart war.   Tidak ada jumpalitan, tidak ada hiruk pikuk ataupun teriakan prajurit.   Tinggal lihat di layar dan tekan tombol.
Strategi pertempuran sebenarnya hanya 3 macam, yaitu  kekuatan,  kecepatan bergerak, dan kerahasiaan.   Sehingga, rasio yang diambil dari ketiga taktik itu adalah bila kalah kuat maka harus bergerak, jika masih kalah maka bersembunyi.  Jika masih kalah juga, maka kita harus bergerak sambil sembunyi. Hal ini pun berlaku bagi taktik pertempuran udara.   Sehingga, mulai dikembangkan tehnologi stealth.   Ini adalah salah cara untuk menghindari pertempuran bentuk lain yang sangat beresiko.
“Bila dari jauh sudah bisa dibunuh kenapa harus mendekat.”   Integrasi tehnologi rudal, radar dan satelit telah membuat Amerika mampu berbuat segalanya.   Pengalaman tragis dari pangkalan MiG-29 Yugoslavia adalah sebuah contoh nyata.   Jangankan pesawat yang ada di udara, pesawat baru ditarik keluar hanggar pun sudah bisa dilihat dari Amerika dengan tehnologi satelitnya.   Sehingga masalah eksploitasi luar angkasa telah menjadi ancaman tersendiri bagi angkatan udara yang masih bertahan pada cara bertempur yang lama.  
Dengan gabungan tehnologi radar, satelit, dan rudal yang canggih sebenarnya pesawat akan menurun perannya dalam pertempuran udara.   Karena segala macam penghancuran akan bisa dilaksanakan dari pusat komando di bawah dan deteksi pusat ancaman yang sempurna dari satelit.   Sehingga sempat terpikirkan oleh ahli-ahli senjata Amerika untuk mengkonsep sistem senjata yang bertumpu pada satelit di luar angkasa.  Hal ini dilakukan dengan semakin sempurnanya sistem deteksi satelit.   Dengan sistem ini maka peran pesawat tempur akan jauh menurun dalam pertempuran.  
Namun, sebagai manusia normal, siapa yang mau begitu saja menggantungkan nasib hidup seluruh rakyat kepada peralatan yang terletak jauh ribuan kilometer di luar angkasa, padahal ancaman kadang-kadang sudah nampak di depan mata.   Sehingga, pesawat tempur masih akan tetap menjadi senjata pemusnah nomor satu dalam pertempuran.  Namun, pertempuran tidak lagi dalam jarak dekat, dan tidak pula bertumpu pada manuver akrobatik sebuah pesawat.  Pertempuran akan lebih tergantung pada kemampuan sistem deteksi radar, akurasi dan jangkauan senjata, juga satelit di luar angkasa, yang hanya dikendalikan dari sebuah remote control di laboratorium pertahanan udara.

1 komentar: